Siluet Bayanganmu
Sahabat sejatiku, hilangkah dari ingatanmu? Di hari kita saling berbagi. Dengan kotak sejuta mimpi, aku datang menghampirimu, ku perlihatkan semua hartaku. Kita selalu berpendapat, kita ini yang terhebat. Kesombongan di masa muda yang indah. Aku raja kau pun raja, aku hitam kau pun hitam. Tapi teman lebih dari sekedar materi. Ku selalu membanggakanmu. Kau pun selalu menyanjungku. Aku dan kamu, darah abadi. Kita bermain bersama, kita duakan segalanya. Merdeka kita, kita merdeka.
* * *
Fajar kemerahan sejuk nan indah terpancar samar
di ufuk timur. Dedaunan basah membelai udara dengan lembut, diiringi suara alarm
berkokok yang khas. Ayam ini sungguh luar biasa. Ya, aku memang tak pandai
bermain kata, sehingga sulit untuk kulukiskan alangkah indahnya pagi ini. Aku
menghirup udara dalam – dalam. Mengegoiskan diri untuk mengambil oksigen
sebanyak – banyaknya terlebih dahulu, sebelum persediaan semakin menipis hingga
sore nanti. Oh, andaikan aku bisa selalu bangun pagi.
Masih bisa dibilang “pagi sejuk”, pukul 04.10.
Aku menuruni loteng dengan kaus dan celana pendek biru yang masih kukenakan.
Belum satu orang pun berkutik dari atas ranjang di kamar mereka. Biarlah,
memang hari Minggu adalah hari yang paling menyenangkan daripada hari – hari
yang lain. Hmm, iya sangat menyenangkan. Aku tersenyum.
Kriiing.. Kriiing..
“Halo?” Suaraku yang masih berat menjawab
telepon itu, pasti dari Riva.
“Hai, Husada kan? Sudah bangun?” suara Riva
yang sangat segar namun lembut itu sangat menenangkan.
“Kalau aku masih tidur, lalu siapa yang
berbicara denganmu saat ini?”
“Haha, iya iya.” tawa renyahnya itu bagai
alunan musik klasik baby Einstein. Membangkitkan saraf – saraf otakku agar aku
bisa melihat dunia yang sangat indah ini, bagai senyumannya, yang mengeluarkan
lesung pipi imut di kedua pipinya. Aih, lucunya.
“Husada? Kau masih disitu kan?” Suaranya
membuyarkan lamunanku, seketika aku langsung terkaget dan gugup.
“Eh, i iya. Maaf. Jadi kan?”
“Justru itu yang ingin kutanya. Apa aku yang
harus menghampirimu?”
“Oh.. Tidak, tidak. Biar aku saja.” Sungguh
tidak elit jika harus perempuan yang menghampiri laki – laki.
“Baiklah, kutunggu ya, setengah lima jangan
telat atau kau kutinggal.”
“Iya.”
Tut.. Tut.. Tut..
Aku segera berlari ke kamar mandi. Sebenarnya
aku bimbang mau mandi atau tidak. Air di sini sangat dingin. Tapi akan sangat
memalukan jika bertemu perempuan yang amat spesial dan dia menghirup aroma
bantal dan guling yang masih menempel. Maka kuputuskan untuk mandi. Usainya,
aku segera berganti pakaian. Membingungkan. Aku ingin terlihat gaya, namun aku
tak punya apa – apa. Jadinya, hanya ini yang kupakai. Kaus hitam yang agak pudar
warnanya, trining biru dongker, dan sepatu belel yang sudah mengelupas juga
kulitnya, ditambah lagi dengan jaket merah yang kedodoran dan sebuah jam tangan
adidas warna hitam yang masih amat sangat bagus pemberian Riva. Jam tangan itu
adalah benda yang paling berharga yang kumiliki.
Rupanya Riva sudah menunggu di depan pagar
rumah mewahnya. Dan ya, tepat seperti dugaanku. Ia sangat cantik dengan rambut
hitam lurus sepinggangnya yang dikuncir kuda, dengan setelan baju olahraga
berwarna pink, jam tangan adidas putih yang sengaja dibeli kembar denganku,
sepatu putih yang masih bersih, dan tas biru langit mungil yang menggantung indah
di bahunya.
“Ke mana?”
“Terserah kau saja Hus, aku tak tau tempat –
tempat indah di sini.”
“Kebun teh?”
“Disini ada kebun teh? Kukira hanya di
Bandung.”
“Ah, kau ini merendahkan.”
“Haha, hanya bercanda.” ia meninju lemah lengan
kananku. Aku hanya tertawa kecil.
Hanya membutuhkan 20 menit untuk sampai. Memang
tak jauh dari rumah Riva, tapi entah mengapa ia tak tahu ada kebun teh seluas
ini.
“Ohhh. Indahnyaaaaa.” Riva menghirup udara
dalam – dalam, memejamkan matanya dan merentangkan kedua tangannya. Sudah
cantik, dermawan, sangat baik pula. Aku semakhn mengaguminya.
“Iya, seperti dirimu.” Kataku setengah
berbisik.
“Maaf? Aku tak mendengar.”
“Kau indah Riv, seperti kebun ini. Matamu yang
sejuk dan tutur katamu yang selalu menenangkan selalu membuatku berimajinasi.”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Ah, tidak. Lupakan.” Aku keceplosan mengatakan
yang tak sepantasnya.
“Ah, aku membencimu. Mengapa kau selalu
tertutup padaku? Padahal aku tak pernah menyembunyikan apa – apa. Aku tak ingin
lagi berteman denganmu, yang selalu tak terbuka! Kupikir kita sahabat.”
Riva berlari menuruni bukit teh yang lumayan
terjal. Aku segera mengejarnya. Riv, ini tak seperti yang kau kira. Seperti
sebuah beton yang menekanku, tak tahu apa ini, jelas rasanya menyesakkan.
“Riiivvv!! Tungguu!!” Sangat cepat ia berlari.
“Aaaaaarrgkkkhhh!!”
“Rivaaaa!!”
Riva jatuh! Riva jatuh! Saat kuhampiri, ia
sudah tak sadarkan diri. Bagaimana ini? Aduh, ini masih pagi, dimana pengambil
teh? Di mana? Mengapa tak ada seorang pun yang lewat?
“Tolooong! Tolooong!”
Percuma aku berteriak, tak ada yang mendengar.
Ah, aku gendong saja.
Kreek..
Hah? Suara tulang bergeser! Aahh! Tangan Riva
patah! Bagaimana ini? Aku tak sanggup berpikir dengan jernih.
There’s
a hero in everybody hearts. Hp Riva berbunyi. Mama.
“Halo? Tante! Tante, tolong Riva! Tante cepet
kesini! Riva habis jatuh.”
“Rivaa? Dia tak apa – apa kan? Kau dimana
sekarang?”
“Kebun teh dekat rumah tante. Tolong te!” Aku
mulai menangis sesenggukan. Ya Tuhan, semoga tak terjadi apa – apa pada Riva.
“Riv, banguun. Hiks”
Tak lama kemudian orang tua Riva datang. Mereka
segera mengangkat Riva dengan perlahan dan masuk ke dalam mobil, meninggalkanku
yang masih terpaku menangis, tak sadar masih memegang hp Riva.
Aku segera berlari pulang.
Duk, duk, duk.
Aku duduk di sudut kamar, memantul – mantulkan
bola tenis ke dinding. Aku gelisah, sangat tak tenang. Bagaimana keadaan Riva?
Dengan ragu aku berjalan ke kasur, mengambil Hp milik Riva. Mencari nama “MAMA”
di kontak. Dengan takut aku menekan tombol hijau.
“Halo? Husada kan?” suara mama Riva terdengar lemah.
Seperti ada sebuah kesedihan yang mendalam. Perasaanku sangat tak karuan.
“Tt.. Tante, bagaimana Riva? Tante sekarang ada
dimana? Riva tak apa – apa kan?” Aku mulai meneteskan air mata.
“Husada, maafkan Riva ya. Kalau Riva punya
salah sama kamu, tante minta maaf atas nama Riva.” Tante menangis dengan suara
yang agak keras.
“Tante.. Apa maksudnya?” Suaraku melemah, aku
tak kuasa. Aku tak percaya!
“Riva sudah pergi, Husada.” Aku terdiam, hp
Riva jatuh dari genggamanku.
Ri.. Riva.. Rivaaa!!! Riva, maafkan akuuu. Aku
memang pengecut! Ini semua salahku!
Aku berlari ke luar rumah. Aku berlari dengan
sangat kencang, jauh, jauuh.
“Riiiivaaaaaa!!!”
Aku berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah.
Memandang ufuk barat dengan nanar.
* * *
Senja yang indah kini menjadi temaram, dan
bulan yang dulu purnama kini perlahan menjadi sabit. Siluet bayanganmu
tergambar jelas dalam pikiranku, samar. Bodohnya aku mematahkan tulang rusukku
sendiri. Ah, kau tak pernah tau bahwa aku mencintaimu. Aku termenung,
menyeruput sedikit – demi sedikit kopi yang masih panas, ditemani hujan yang
tak kunjung henti.
ABOUTME
Hi all. This is Windy from Banyuwangi. I study at Senior High School grade 12 (when I write this). So, WELCOME to my blog and thanks for visiting. Enjoy!!








0 komentar:
Posting Komentar
komen.nya ditunggu nih ^^
no spam loh yaa